Banyak yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang
tidak dapat berkembang mengikuti kemajuan zaman, sedangkan demokrasi merupakan salah
satu bentuk modernisasi dan hasil dari globalisasi. Jika dilihat dari dua hal
tersebut maka antara islam dan demokrasi merupakan dua hal yang saling
berlawanan bahkan bertolak belakang. Islam merupakan agama yang dibawa para
Rasul dan Nabi dimana segala ketetapan dan ajaran yang didalamnya merupakan
seruan langsung dari Allah. Sedangkan demokrasi merupakan hasil karya ciptaan
manusia, yang dibentuk dan dikreasikan sedemikian rupa. Akan tetapi, antara
islam dan demokrasi bukan berarti tidak ada korelasi diantara keduanya.
Meskipun tidak sedikit yang mengklaim bahwa islam tidaklah kompatibel dengan demokrasi
namun jika kita mengkaji lebih dalam pada dasarnya antara kedua esensi tersebut
bahwa terdapat asosiasi atau hubungan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini
disebabkan karena antara lain:
·
Sistem Politik
Islam berdasarkan pada Syura (musyawarah). Jika demokrasi diartikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung
atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan
dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik”. Realitasnya
adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-aspek definisi atau
gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek
tersebut sangat esensial bagi Islam. Karena dalam pemerintahan Islam, apabila
disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok,
yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi
dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin).
·
Demokrasi memiliki dasar-dasar
politik sosial tertentu seperti asas persamaan dalam Undang-Undang, kebebasan
berfikir dan berkeyakinan, merealisasikan keadilan sosial, menjamin dan
memberikan hak-hak tertentu seperti hak hidup dan mendapatkan pekerjaan. Dalam
islam semua hal ini juga telah dijamin.
·
Usaha setiap rakyat untuk
meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf
dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari
ajaran Islam.
Adapun dari uraian persamaan diatas merupakan beberapa prinsip yang
menjadikan landasan penerimaan demokrasi melalui kerangka fiqih siyasah dengan tanpa mengurangi ‘Kedaulatan Tuhan’. Kedaulatan Allah merupakan
kedaulatan tertinggi yang mutlak dan tidak perlu dipersoalkan dan
dibanding-bandingkan lagi oleh masyarakat. Jika demokrasi yang mengkalim bahwa
kedaulatan tertinggi ditangan rakyat maka disini dapat diartikan bahwa semua
masyarakat atau rakyat secara teologis bertanggungjawab pada Allah SWT dan
Rasul-Nya. Maknanya, kedaulatan islam merupakan sepenuhnya adalah milik Tuhan
(teokrasi) sedangkan demokrasi ditangan rakyat yang anggapannya Tuhan sang
pemilik kedaulatan dan kebenaran telah memberikan kebebasan dan tanggungjawab
kepada manusia di dunia. Tuhan telah memutuskan untuk tidak berdaulat sebagai
Yang Berdaulat di dunia. Tuhan telah menganugrahi manusia dengan wahyu dan
petunjuk esensial. Dengan seperti, Tuhan berharap manusia terutama umat muslim
membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut
petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi
interpretasi dan implementasinya adalah profan. Apakah akan memilih jalan ke
surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam
atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk
mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita.
Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau
sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Ketika Al-Maududi dan M. Iqbal
menolak kehadiran demokrasi Barat atas alasan bahwa demokrasi telah mengabaikan
nilai-nilai dan sisi spiritual agama sehingga jauh dari etika ternyata tidak
sepenuhnya menolak mentah-mentah. Iqbal justru menawarkan qbal menawarkan
sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.
Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan,
prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model
demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi
sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta dilandasi penafsiran
hukum Allah melalui ijtihad. Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima
demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam
demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak
berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan
tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi.
Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip
yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh
ketentuan Allah.
al-Qur’an
dan al-Sunnah tidak menerangkan secara eksplisit tentang sesuatu hukum maka
diperbolehkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Jadi, berijtihad
dengan mempergunakan akal pikiran yang sehat dalam permasalahan hukum Islam,
yang pada hakekatnya merupakan pemikiran falsafah itu diperbolehkan oleh rasul.
Tentu dari sekian sumber syari’ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan
demokrasi. Dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan menjadi rasionalisasi
untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Inti dari semua ini adalah islam dan
demokrasi merupakan dua entitas yang tidak dapat dibedakan dan dibandingkan
dalam level setingkat karena didalamnya memilik tingkat kompleksitas dan paradigma
yang berbeda.Jadi, sebenarnya demokrasi merupakan suatu yang kompatibel dengan
islam dengan catatan harus diekstemalisasikan menurut syari’ah Islam.
0 komentar:
Posting Komentar