Pages

Banner 468 x 60px

 

Jumat, 06 November 2015

ISLAM DAN DEMOKRASI

0 komentar
Banyak yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang tidak dapat berkembang mengikuti kemajuan zaman, sedangkan demokrasi merupakan salah satu bentuk modernisasi dan hasil dari globalisasi. Jika dilihat dari dua hal tersebut maka antara islam dan demokrasi merupakan dua hal yang saling berlawanan bahkan bertolak belakang. Islam merupakan agama yang dibawa para Rasul dan Nabi dimana segala ketetapan dan ajaran yang didalamnya merupakan seruan langsung dari Allah. Sedangkan demokrasi merupakan hasil karya ciptaan manusia, yang dibentuk dan dikreasikan sedemikian rupa. Akan tetapi, antara islam dan demokrasi bukan berarti tidak ada korelasi diantara keduanya. Meskipun tidak sedikit yang mengklaim bahwa islam tidaklah kompatibel dengan demokrasi namun jika kita mengkaji lebih dalam pada dasarnya antara kedua esensi tersebut bahwa terdapat asosiasi atau hubungan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena antara lain:
·         Sistem Politik Islam berdasarkan pada Syura (musyawarah). Jika demokrasi diartikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik”. Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Karena dalam pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin).
·         Demokrasi memiliki dasar-dasar politik sosial tertentu seperti asas persamaan dalam Undang-Undang, kebebasan berfikir dan berkeyakinan, merealisasikan keadilan sosial, menjamin dan memberikan hak-hak tertentu seperti hak hidup dan mendapatkan pekerjaan. Dalam islam semua hal ini juga telah dijamin.
·         Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
Adapun dari uraian persamaan diatas merupakan beberapa prinsip yang menjadikan landasan penerimaan demokrasi melalui kerangka fiqih siyasah dengan tanpa mengurangi ‘Kedaulatan Tuhan’. Kedaulatan Allah merupakan kedaulatan tertinggi yang mutlak dan tidak perlu dipersoalkan dan dibanding-bandingkan lagi oleh masyarakat. Jika demokrasi yang mengkalim bahwa kedaulatan tertinggi ditangan rakyat maka disini dapat diartikan bahwa semua masyarakat atau rakyat secara teologis bertanggungjawab pada Allah SWT dan Rasul-Nya. Maknanya, kedaulatan islam merupakan sepenuhnya adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan demokrasi ditangan rakyat yang anggapannya Tuhan sang pemilik kedaulatan dan kebenaran telah memberikan kebebasan dan tanggungjawab kepada manusia di dunia. Tuhan telah memutuskan untuk tidak berdaulat sebagai Yang Berdaulat di dunia. Tuhan telah menganugrahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Dengan seperti, Tuhan berharap manusia terutama umat muslim membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi interpretasi dan implementasinya adalah profan. Apakah akan memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Ketika Al-Maududi dan M. Iqbal menolak kehadiran demokrasi Barat atas alasan bahwa demokrasi telah mengabaikan nilai-nilai dan sisi spiritual agama sehingga jauh dari etika ternyata tidak sepenuhnya menolak mentah-mentah. Iqbal justru menawarkan qbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi; kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad. Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.

al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menerangkan secara eksplisit tentang sesuatu hukum maka diperbolehkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal pikiran yang sehat dalam permasalahan hukum Islam, yang pada hakekatnya merupakan pemikiran falsafah itu diperbolehkan oleh rasul. Tentu dari sekian sumber syari’ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi. Dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Inti dari semua ini adalah islam dan demokrasi merupakan dua entitas yang tidak dapat dibedakan dan dibandingkan dalam level setingkat karena didalamnya memilik tingkat kompleksitas dan paradigma yang berbeda.Jadi, sebenarnya demokrasi merupakan suatu yang kompatibel dengan islam dengan catatan harus diekstemalisasikan menurut syari’ah Islam.

0 komentar:

Posting Komentar